PT BESTPROFIT FUTURES MEDAN
KOMPAS.com -- Ketika seorang penjelajah Inggris,
Eric Shepton, mencari rute baru menuju Gunung Everest pada tahun 1951,
dia menemukan sebuah jejak kaki yang aneh dan menyerupai kaki hominoid.
Jejak kaki tersebut terletak di gletser Menlung, sebelah barat Gunung Everest, perbatasan Nepal dan Tibet; dan tampak seperti telapak kaki manusia, tetapi dengan jempol. Ukurannya pun cukup besar, sekitar 33 sentimeter.
Tergelitik dengan penemuan tersebut, Shepton kemudian memotretnya dan memulai demam Yeti di seluruh dunia.
Daniel Taylor adalah salah satu yang terpesona oleh misteri Yeti. Dia
pertama kali menemukan foto ikonis Shepton di sebuah majalah dan
terkejut ketika seorang kurator di Museum Inggris yang dikutip berkata
bahwa jejak kaki tersebut adalah milik monyet langur.
“Aku mengatakan, ‘Ini tidak masuk akal, aku tahu monyet langur yang
melompat-lompat di atas genteng setiap saat. Yang membuat jejak kaki
misterius seperti manusia ini pasti hewan lain.’,” ujarnya menceritakan
kepada National Geographic 19 Agustus 2017.
Sejak saat itulah, Taylor memulai petualangannya mencari Yeti di
pegunungan Himalaya. Petualangan tersebut berlangsung selama 60 tahun
hingga akhirnya dia menemukan identitas Yeti yang sebenarnya di Lembah
Barun.
Memiliki iklimnya sendiri, Lembah Barun adalah hutan padat yang
terus-menerus diguyur hujan. Tidak ada seorang pun yang tinggal di sana
dan warga lokal yang tinggal di pinggiran Lembah Barun pun tidak berani
masuk, kecuali terpaksa.
“Aku diberitahu oleh Raja Nepal yang berkata bahwa bila aku ingin ke
tempat paling liar di mana Yeti mungkin berada, maka aku harus pergi ke
Barun. Dan jika Raja (Nepal) berkata begitu, maka Anda harus pergi ke
sana karena dia benar-benar mengenal kerajaannya,” kata Taylor.
Benar saja. Dengan segera, Taylor menemukan jejak kaki yang sama
persis dengan di foto Shepton ketika memasuki Lembah Barun. Dia
mengatakan, aku sudah melihat jejak kaki ini sebelumnya, tetapi yang
kutemukan masih baru dan aku yakin bahwa aku telah menemukan Yeti.
Seorang pemburu lokal yang bersama Taylor pada saat itu kemudian
memberitahukan bahwa yang mereka temukan adalah jejak kaki beruang
pohon.
“Seekor beruang yang hidup di pohon akan memaksa salah satu jari
untuk menyerupai jempol. Beruang biasa tidak bisa meniru cengkeraman
tersebut, tetapi jika Anda menghabiskan banyak waktu di pohon, Anda akan
melatih satu jempol untuk memegang dahan atau mematahkan bambu,” kata
Taylor menjelaskan.
Taylor lalu menghabiskan dua tahun untuk mencari tahu mengenai
spesies beruang berjempol yang ada di daerah tersebut. Dia menjatuhkan
pilihannya pada beruang hitam Asia, yang kemudian semakin dikukuhkan
oleh penelitian DNA.
Ceritanya, seorang profesor di Oxford University bernama Bryan Sykes
membuat sebuah pengumuman global. Dia meminta agar artefak-artefak Yeti,
mulai dari rambut, kuku, hingga tulang, dikirim dari seluruh dunia
untuk dianalisis.
“Mayoritas dari artefak-artefak tersebut berasal dari beruang atau
domba, kecuali dua di antaranya yang tampak seperti spesies beruang,
tetapi belum dikenal oleh manusia,” kata Taylor.
Setelah Sykes memublikasikan penelitiannya, mitos mengenai Yeti
kembali ramai diperbincangkan, dan sekelompok siswa memutuskan untuk
menguji caranya mengurutkan DNA.
Ternyata, Sykes melakukan kesalahan. Apa yang diteliti oleh Sykes
tidak berasal dari spesies baru, melainkan merupakan urutan DNA yang
tidak lengkap dari hewan yang sudah diketahui selama ini, yaitu beruang.
Kini, Taylor telah siap untuk menutup petualangannya mencari Yeti. Di
samping merasa telah mengungkap identitas Yeti yang sebenarnya, dia
juga menemukan "alam liar terbaik di planet bumi”.
Bersama-sama dengan
warga lokal, Taylor berusaha untuk melindungi alam Lembah Barun dengan
membuat jejak Yeti yang bisa dilalui oleh turis.
Taylor pun menuturkan kisahnya dalam buku terbarunya yang berjudul Yeti: The Ecology of a Mystery.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar