
PT BESTPROFIT FUTURES MEDAN
BESTPROFIT - Pada 13 Februari 2018, Presiden Republik Indonesia menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia. Dengan penandatanganan PP tersebut, maka berakhirlah penantian yang sangat panjang sejak diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 2009 memuat, antara lain tentang pengamanan wilayah udara Republik Indonesia. Ternyata, membutuhkan waktu 9 tahun bagi kelahiran PP yang merupakan tindak lanjut dari Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 2009 tersebut.
Dengan penerbitan PP ini, maka setumpuk pekerjaan rumah bagi semua stakeholder penerbangan nasional kini menanti di depan mata. Banyak ketentuan dan regulasi serta aturan yang masih harus diselesaikan segera agar UU No 1 Tahun 2009 dan PP No 4 2018 ini benar-benar dapat diaplikasikan di lapangan. Hakikat dari ancaman global di bidang penerbangan adalah tentang terorisme.
Pascaperistiwa 911, banyak negara yang kemudian menyempurnakan banyak aturan tentang pengamanan wilayah udaranya masing-masing. Salah satunya adalah dengan memadukan pengelolaan lalu lintas penerbangan sipil dan militer, yang kemudian belakangan ini dikenal sebagai Civil Military Air Traffic Flow Management System. BEST PROFIT
Masalah ini memang menjadi sebuah hal yang sangat mengemuka, mengingat rawannya faktor keamanan dan keselamatan penerbangan sipil komersial yang sifatnya sangat terbuka. Celah yang sangat lebar bagi ruang gerak teroris di lahan penerbangan sipil komersial telah di ]demonstrasikan pada tingkat global di peristiwa 911 di Amerika Serikat pada tahun 2001.
Di Indonesia sendiri, hal tersebut menjadi semakin rawan mengingat kebijakan dalam penerbangan nasional yang berkembang lebih dari 20 tahun belakangan ini selalu berorientasi kepada kepentingan penerbangan sipil komersial semata. Banyak contoh tentang aspek keamanan dan bahkan pertahanan nasional dalam pengelolaan penerbangan di Indonesia terlihat sebagai diabaikan.
Bagi masyarakat awam, tentu saja akan sangat sulit untuk bisa memahami masalah-masalah pertahanan keamanan negara dalam penyelenggaraan kegiatan penerbangan nasional. Orientasi dari seluruh pemangku kepentingan memang terfokus pada bagaimana mengembangkan penerbangan nasional dalam konteks penyelenggaraan angkutan udara komersial saja.
Pada ujungnya kemudian terlihat sekali bahwa manajemen penerbangan sipil komersial "hanya" mengejar "slot penerbangan" semata. Dari orientasi yang seperti itulah, maka kini kita tengah menikmati hasilnya, yaitu betapa padatnya penerbangan. PT BESTPROFIT
Tidak hanya di bandara sipil, di pangkalan angkatan udara yang penting dan strategis pun sudah penuh sesak dengan kegiatan penerbangan sipil komersial yang nyaris tumpang tindih antara kepentingan pelaksanaan penerbangan operasional dan latihan Angkatan Udara dengan penerbangan sipil komersial.
Pada titik ini, sangat logis bila kebanyakan pihak akan lebih mementingkan penerbangan sipil komersial yang memang secara nyata terlihat menjanjikan keuntungan finansial dan material bagi banyak orang.
Nah, dengan keluarnya PP No 4 tahun 2018, sebenarnya banyak kalangan diajak untuk melihat masalah yang lebih strategis, yaitu pada faktor pertahanan keamanan negara di samping sekadar faktor mencari keuntungan sesaat dengan mengejar "slot penerbangan". Pada sisi ini, kita diajak untuk juga membagi perhatian kepada masalah-masalah national security yang tidak bisa diabaikan begitu saja. PT BEST PROFIT
PADA 13 Februari 2018,
Presiden Republik Indonesia menandatangani Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia.
Dengan penandatanganan PP tersebut, maka berakhirlah penantian yang
sangat panjang sejak diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan.
Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 2009 memuat, antara lain tentang pengamanan
wilayah udara Republik Indonesia. Ternyata, membutuhkan waktu 9 tahun
bagi kelahiran PP yang merupakan tindak lanjut dari Pasal 9 UU Nomor 1
Tahun 2009 tersebut.
Dengan penerbitan PP ini, maka setumpuk pekerjaan rumah bagi semua
stakeholder penerbangan nasional kini menanti di depan mata.
Banyak ketentuan dan regulasi serta aturan yang masih harus diselesaikan
segera agar UU No 1 Tahun 2009 dan PP No 4 2018 ini benar-benar dapat
diaplikasikan di lapangan.
Hakikat dari ancaman global di bidang penerbangan adalah tentang
terorisme. Pascaperistiwa 911, banyak negara yang kemudian
menyempurnakan banyak aturan tentang pengamanan wilayah udaranya
masing-masing.
Salah satunya adalah dengan memadukan pengelolaan lalu lintas
penerbangan sipil dan militer, yang kemudian belakangan ini dikenal
sebagai Civil Military Air Traffic Flow Management System.
Masalah ini memang menjadi sebuah hal yang sangat mengemuka, mengingat
rawannya faktor keamanan dan keselamatan penerbangan sipil komersial
yang sifatnya sangat terbuka.
Celah yang sangat lebar bagi ruang gerak teroris di lahan penerbangan
sipil komersial telah di ]demonstrasikan pada tingkat global di
peristiwa 911 di Amerika Serikat pada tahun 2001.
Di Indonesia sendiri, hal tersebut menjadi semakin rawan mengingat
kebijakan dalam penerbangan nasional yang berkembang lebih dari 20 tahun
belakangan ini selalu berorientasi kepada kepentingan penerbangan sipil
komersial semata.
Banyak contoh tentang aspek keamanan dan bahkan pertahanan nasional
dalam pengelolaan penerbangan di Indonesia terlihat sebagai diabaikan.
Bagi masyarakat awam, tentu saja akan sangat sulit untuk bisa memahami
masalah-masalah pertahanan keamanan negara dalam penyelenggaraan
kegiatan penerbangan nasional.
Orientasi dari seluruh pemangku kepentingan memang terfokus pada
bagaimana mengembangkan penerbangan nasional dalam konteks
penyelenggaraan angkutan udara komersial saja. Pada ujungnya kemudian
terlihat sekali bahwa manajemen penerbangan sipil komersial "hanya"
mengejar "slot penerbangan" semata.
Dari orientasi yang seperti itulah, maka kini kita tengah menikmati
hasilnya, yaitu betapa padatnya penerbangan.
Tidak hanya di bandara sipil, di pangkalan angkatan udara yang penting
dan strategis pun sudah penuh sesak dengan kegiatan penerbangan sipil
komersial yang nyaris tumpang tindih antara kepentingan pelaksanaan
penerbangan operasional dan latihan Angkatan Udara dengan penerbangan
sipil komersial.
Pada titik ini, sangat logis bila kebanyakan pihak akan lebih
mementingkan penerbangan sipil komersial yang memang secara nyata
terlihat menjanjikan keuntungan finansial dan material bagi banyak
orang.
Nah, dengan keluarnya PP No 4 tahun 2018, sebenarnya banyak kalangan
diajak untuk melihat masalah yang lebih strategis, yaitu pada faktor
pertahanan keamanan negara di samping sekadar faktor mencari keuntungan
sesaat dengan mengejar "slot penerbangan".
Pada sisi ini, kita diajak untuk juga membagi perhatian kepada
masalah-masalah national security yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pengamanan Wilayah Udara RI, Tantangan Berat bagi Kemhan dan TNI", http://nasional.kompas.com/read/2018/02/28/18305601/pengamanan-wilayah-udara-ri-tantangan-berat-bagi-kemhan-dan-tni.
Editor : Laksono Hari Wiwoho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar