Rabu, 19 Juni 2019

Bantuan Dipangkas, Palestina Terancam Krisis Ekonomi

Bantuan Dipangkas, Palestina Terancam Krisis Ekonomi

PT BESTPROFIT FUTURES MEDAN

BESTPROFIT - Kepala Lembaga Moneter Palestina (PMA), Azzam Shawwa, menuturkan perekonomian mereka di ambang kehancuran menyusul pemangkasan bantuan internasional sebesar ratusan juta dolar dalam setahun terakhir. Shawwa menuturkan krisis keuangan dan bantuan yang terus-menerus memicu utang Palestina melonjak menjadi US$3 miliar.

Keadaan itu, papar Shawwa, turut membuat kontraksi parah terhadap produk domestik bruto (PDB) per kapita Palestina yang saat ini mencapai US$13 miliar.

"Kami saat ini sedang berada di titik kritis. Apa selanjutnya? Kami tidak tahu. Bagaimana kami akan membayar gaji bulan depan? Bagaimana kami akan membiayai kewajiban kami? Bagaimana kehidupan sehari-hari akan berlanjut tanpa likuiditas di tangan rakyat Palestina?" kata Shawwa kepada Reuters, Rabu (19/6).

"Saya tidak tahu ke mana arah tujuan kami. Ketidakpastian ini membuat sulit untuk merencanakan hari esok," paparnya menambahkan.

Shawa menuturkan perekonomian Palestina, terutama di Tepi Barat, semula memiliki pertumbuhan rata-rata 3,3 persen dalam beberapa tahun terakhir. Kini, pertumbuhan itu mengalami defisit.

Krisis keuangan terus dihadapi Palestina terutama setelah Amerika Serikat menyetop seluruh bantuannya secara langsung maupun melalui Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Urusan Pengungsi Palestina (UNRWA). Sementara itu, AS merupakan donor terbesar UNRWA dengan sumbangan sebesar US$364 juta setiap tahunnya atau Rp5,4 triliun.

Pemangkasan bantuan AS dilakukan setelah Presiden Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel secara sepihak. Padahal, Yerusalem merupakan salah satu sumber konflik Israel-Palestina sampai saat ini, di mana keduanya sama-sama mengklaim wilayah itu sebagai ibu kota masing-masing.

Sejak itu, Palestina menganggap AS memihak Israel dan bersumpah tak akan mau mengikuti rencana perdamaian usulan Gedung Putih.

Pemotongan bantuan AS dinilai merupakan usaha Gedung Putih untuk menekan otoritas Palestina agar mau kembali ke meja perundingan damai dengan Israel, setelah Presiden Mahmoud Abbas memutus kontak dengan pemerintahan Trump.

"Kami diperangi oleh kekuatan paling penting di dunia," kata Shawwa merujuk pada pemerintahan Trump.

Selain pemangkasan bantuan dari AS, Shawwa kegagalan negara Arab menepati janji mereka terkait kontribusi bantuan turut memperburuk krisis keuangan Palestina.

Dia menuturkan negara Arab telah berjanji menyumbangkan US$40 juta setiap bulannya bagi Palestina. Sebagian besar sumbangan tersebut berasal dari Arab Saudi.

Untuk itu, menurut Shawwa, Palestina harus memperbesar jumlah pinjaman uang sebesar US$8,5 miliar dari 14 bank demi mengatasi krisis.

"Tanpa itu (pinjaman) akan ada keruntuhan keuangan. Saya khawatir untuk pertama kalinya terkait stabilitas keuangan Palestina," ujar Shawwa seperti dikutip Reuters.

Shawwa menuturkan satu-satunya hal yang mencegah keruntuhan ekonomi Palestina adalah pendapatan yang dihasilkan lebih dari 100 ribu warga Palestina yang bekerja di Israel. Selain itu, pendapatan juga diperoleh dari pengiriman uang warga Palestina yang bekerja di luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar